Belakangan, kiprah “intelektual” kembali dipertanyakan. Kiranya, buku Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka cukup tepat untuk kita di rubrik “buku kita” kali ini. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Ignas Kleden—sosiolog dan pengamat sastra dan kebudayaan Indonesia, yang meninggal Januari 2024 lalu, di usia ke-75 tahun—tentang 17 tokoh politik dan kebudayaan Indonesia. Karenanya, berbagai isu yang dikomentarinya secara umum bisa dikategori dalam politik dan atau sosiologis, sastra dan kebudayaan. Meski demikian, sedari awal, Ignas telah meminta permakluman bahwa dengan banyaknya tokoh dan isu yang diulas, tentu bakal ada ranah-ranah lain yang belum disentuhnya.
Di buku ini Ignas memulai “persoalan” dengan mengajukan pertanyaan penting; “peran intelektual itu, sebagai pembuat sejarah atau produk sejarah?” Salah satu acuan yang digunakannya ialah Representations of the Intellectuals, karya Edward Said, 1996. Tentu ada juga pemikiran para pemikir lain. Ignas dengan serius membuat pengantar. Perlu 73 halaman demi mengarahkan pembaca pada jawaban yang diinginkannya. Tentu menjadi tidak sederhana pada akhirnya. Sebab, intelektual adalah produk sekaligus pembuat sejarah.
Kita dapat membagi buku ini jadi dua bagian; [1] Pemikiran Politik Indonesia, yang mengulas pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Soedjatmoko, Frans Seda, Gus Dur dan Hamengku Buwono IX. [2] Pemikiran dalam Sastra dan Kebudayaan, membahas Sutan Takdir Alisjahbana, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W. Kusumo, Jacob Oetama, Pramoedya Ananta Toer. Menyebut nama-nama ini, tentu perlu “keberanian” si sosiolog—yang berlatar belakang filsafat—untuk memberikan timbangan-timbangannya.
Mengangkat para tokoh itu, selain dengan rasa simpati dan hormat, seolah juga ingin memberi ruang pada pembaca untuk berdialog secara imajiner dengan sosok-sosok penting intelektual Indonesia tentang pemikiran, kecenderungan intelektual, keterlibatan sosial, aspirasi politik dan ekspresi artistik mereka. Karena itu, upaya pengkajian Ignas ini bisa saja menjadi sebuah isyarat akan tarikan kepada bidang kajian yang lain; seperti psikologi politik, politik sastra atau kajian tentang strategi kebudayaan.
Sebagai semacam antologi yang berisi fragmen-fragmen yang memang ditulis dengan niatan dan konteks masing-masing, menjadikan setiap tulisan bisa dinikmati sendiri-sendiri. Pembaca tak perlu menyusuri tulisan secara urut, tetapi bisa loncat dari satu tulisan ke tulisan lain. Dan, karena “kekuatan dan daya tarik tokohnya”, para pembaca bisa mempertimbangkan kontroversi dan posisi mereka yang penting dalam panggung sejarah Indonesia—sebagai intelektual.
Terlepas dari semua itu, ketika karya ini merupakan sebuah kumpulan tulisan maka ia akan mengidap persoalan ketidak-utuhan dan fragmentasi ide dalam dirinya sebagai sebuah buku yang utuh. Namun, kembali kepada kepiawaian si penulis, tampaknya ia mampu membuat semacam kejelasan (clarity) atas pikiran-pikiran para tokoh itu; misalnya dengan memberi timbangan referensi yang “cukup”. Mungkin, agar pembaca tidak jauh-jauh lari dari apa yang dimaksudkannya. Kata, kalimat, bahasa menjadi kunci karena uraian Ignas semacam memprovokasi pikiran, dengan menghindari hasutan untuk melakukan sebuah aksi tertentu. Dengan membaca buku ini, bagi sebagian kita, bisa muncul keinginan untuk menjawab, akan memilih jalan mana kita, “menjadi pembuat sejarah atau sekadar produk sejarah?”