
Firdaus Badarudin *)
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri meramal utang Indonesia yang saat ini sudah menembus sekitar Rp8.000 triliun bisa bengkak mencapai Rp16.000 triliun (Rp16 kuadriliun). Menurutnya, Presiden Joko Widodo membangun banyak hal tanpa mau kerja keras meningkatkan pendapatan dan Indonesia akhirnya harus ketergantungan dengan utang. Faisal menyebut masyarakat, terutama generasi Z, menjadi pihak yang menderita. .
Presiden Jokowi mewariskan utang jatuh tempo kepada pemerintahan baru Presiden Prabowo, khususnya berupa Surat Berharga Negara (BN) sebesar Rp3.245,4 triliun selama periode 2025–2029. Untuk tahun 2025 utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun, khususnya pada SBN Rp705,5 triliun dan pinjaman Rp94,83 triliun. Angka ini dua kali lipat dari utang jatuh tempo tahun 2024 sebesar Rp434,20 triliun. (Koran Tempo, 20 Juni 2024).
Dengan melihat kepada kinerja pemerintah selama ini, yang senantiasa bergantung kepada utang untuk membiayai berbagai pembangunan dan untuk menutup defisit APBN, sementara upaya-upaya untuk mengembangkan pendapatan dari pajak dan bukan pajak dapat dikatakan stagnan, lalu Prabowo Subianto dalam kampanyenya selalu menyebutkan akan melanjutkan berbagai proyek yang telah dijalankan pemerintahan Jokowi maka perkiraan ekonom senior Faisal Basri bahwa utang Indonesia bisa menembus Rp16.000 triliun bisa menjadi kenyataan.
Beban utang yang ditanggung pemerintah saat ini mencapai 13 persen terhadap total belanja dan 17 persen terhadap pendapatan. Untuk membayar utang dilakukan dengan utang baru lagi.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya mengandalkan kepada utang, terlebih bila utang digunakan untuk membangun berbagai hal yang tidak memiliki dampak multiplier yang nyata dan besar, apalagi lebih berorientasi kepada prestise adalah pembangunan yang tidak berkualitas. Melanjutkan pembangunan yang tidak berkualitas adalah kebijakan dan tindakan yang keliru serta hanya akan memberikan beban lanjutan yang telah brat dan makin berat kepada rakyat. Pemerintahan boleh berganti, tapi keberlanjutan beban akan senantiasa hadir dan harus diselesaikan. Kebijakan dan tindakan yang menambah beban rakyat, seperti menaikkan tarif pajak, listrik, dan sebagainya, yang kemudian menyebabkan daya beli masyarakat makin menurun sebagai akibat beban-beban masa lalu yang diwariskan adalah kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan karena patut dicegah.
Melanjutkan pembangunan ibukota negara (IKN) yang membutuhkan dana sekitar Rp467 triliun, menjalankan program makan bergizi gratis yang membutuhkan dana sekitar Rp450 triliun per tahun atau melanjutkan pembangunan kereta cepat sampai ke Surabaya yang diperkirakan membutuhkan dana Rp700 triliun sementara kereta cepat Jakarta Bandung diperkirakan membutuhkan waktu untuk balik modal lebih dari 100 tahun tampaknya patut dikaji ulang dengan seksama. Bila Proyek Strategis Nasional (PSN) dimaknai sebagai proyek yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah, apakah tujuan itu dapat diraih dari proyek-proyek dan program tersebut?
Kita berharap pemerintantahan baru presiden Prabowo Subianto dapat lebih seksama dalam melakukan kaji ulang terhadap PSN dan dapat menghasilkan kebijakan dan tindakan yang benar-benar strategis dengan politik anggaran yang efektif dan efisien serta benar-benar menghasilkan pembangunan yang berkualitas dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak.
*) Konsultan Keuangan dan Bisnis


