
Judul: Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru; Penulis: Ian Douglas Wilson; Penerbit: Marjin Kiri, 2018, 315 halaman
Buku Politik Jatah Preman atau the politics of protection rackets karya Ian Douglas Wilson menceritakan preman dalam kehidupan sosial-politik warga kota (Jakarta). Buku ini memadukan narasi sejarah, sosiologi politik, dan etnografi.
Secara garis besar buku ini menggambarkan pola-pola keberlanjutan dan perubahan dalma politik jatah preman semasa Orde Baru sampai era Reformasi. Wilson memaknai jatah preman sebagai hubungan di mana kekuatan koersif, perlakuan intimidatif. dipakai untuk meraih uang, sumber daya, atau kekuasaan dengan dalih menawarkan jasa pengamanan dari ancaman eksternal. Dengan kata lain, sumber dan solusi bagi ancaman itu preman itu sendiri. lalu di mana letak peran negara dalam diskursus ini?
Tradisi teoretis yang diturunkan dari pemikiran Max Weber sampai saat ini relatif mendominasi keilmuan Barat mengenai negara modern disebut sebagai “monopoli teritorial atas penggunaan kekuatan fisik secara absah”. Namun di banyak negara termasuk Indonesia abad ke-20, negara dan badan-badannya terbukti gagal memonopoli kekuasan secara penuh melalui sarana kekerasan. Tetapi malah secara sembunyi atau malah secara terang-terangan menyokong dan secara aktif menggiatkan berbagai bentuk kekerasan non-negara melalui pihak ketiga. Termasuk dengan cara-cara yang sepertinya bertentangan dengan kepentingannya sendiri.
Contoh, organisasi FPI, kelompok Islamis vigilante yang dibentuk dan dipimpin oleh ulama dan habaib pada 1997 tampil di panggung publik semasa akhir rezim Orde Baru yang penuh gejolak. Dalam buku itu mengutip pernyataan Mantan Kapolri Sutanto yang menyebut FPI selalu berguna sebagai “anjing penyerang” mana kala dibutuhkan dan karena itu secara reguler menerima pendanaan dari polisi atau Badan Intelijen Negara. Sedangkan bagi FPI kerja sama dengan polisi berguna untuk melegitimasi pendirian anti-maksiatnya lebih lanjut.
Wilson berpendapat bahwa “jasa preman” bukan sekadar manifestasi “kriminalitas” yang timbul akibat bolong-bolongnya penegakan hukum atau monopolisasi sumber daya oleh elit-elite melalui kekerasan tetapi fenomena itu harus dilihat jauh lebih mendasar untuk memahami dinamika hubungan kekuasaan antara berbagai aktor dan kelompok sosial. selain itu, pelembagaan jasa preman baik sebagai penataan struktural antara pengguna kekerasan maupun sebagai hubungan pertukaran antara negara dan masyarakat berguna untuk menjelaskan bagaimana kepentingan dan rezim otoritarian memproduksi legitmasi melalui startegi koersif alih-alih mendapatkannya melalui sarana mufakat.
Buku setebal 315 halaman ini cocok untuk mahasiswa, peneliti sosial-pilitik, antropologi, penggiat isu urban, masyarakat sipil ataupun untuk pembaca yang ingin memahami politik kekuasaan informal di Indonesia.