
A. Suryana Sudrajat
Masihkah intelektual yang independen dalam menyampaikan gagasannya?
Itu adalah pertanyaan Edward W. Said yang dilontarkan pada penghujung abad ke-20 lalu. Yang dia maksudkan ialah intelektual yang tidak mengindahkan afiliasinya dengan universitas yang membayar gajinya, atau partai politik yang menuntut loyalitasnya sesuai garis partai, atau think thank yang di satu sisi, menawarkan kebebasan dalam melakukan riset, tapi pada sisi lain berkompromi dalam menilai serta membatasi suara-suara vokal.
Pada Said, intelektual bukan sebuah profesi yang bertujuan materiil belaka. Menurutnya intelektual bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau imbalan. Tapi digerakkan oleh kepedulian dan rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Menurut Said pertanyaan tentang moralitas dan keadilan kerap dikesampingkan oleh kaum intelektual. Hal ini karena adanya hubungan yang ‘intim’ antara penguasa dan kaum akademisi dalam menangani berbagai proyek yang diberikan penguasa.
Kondisi itu, menurut Said, telah melecehkan peranan kaum intelektual. Tugas suci sebagai pembela kebenaran yang tidak berpihak kepada pemerintah tampaknya gagal ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah yang selalu dilandasi semangat penaklukan dan penjarahan. Keadaan tersebut telah menihilkan peran intelektual secara individu untuk mempertanyakan dan menentang kebijakan perang yang dilakukan oleh kaum intelektual selama ratusan tahun silam.
Menurut Said, peranan intelektual telah menurun drastis. Hal ini, kata dia, disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam istilah Foucault, yang membelenggu kaum intelektual. Bahkan Said sendiri mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih “diam” bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan kariernya. Intelektual yang selalu ingin dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara menjilat kekuasaan adalah intelektual profesional yang memandang perannya sebagai suatu mata pencarian.
Pandangan Edward Said mengenai peran intelektual di atas tampaknya amat dipengaruhi oleh pandangan Antonio Gramsci. Di dalam bukunya Selections From Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional.
Batasan yang diberikan Gramsci ini lebih disukai Said karena lebih dekat dengan realitas daripada konsepsi yang ditawarkan oleh Julian Benda (1867-1956). Dalam karyanya yang mashyur, La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendekiawan) Benda menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman dan ahli metafisika. Dia menyebut beberapa contoh cendekiawan sejati, antara lain Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltaire, Montesquieu, selain Yesus Kristus tentu saja.
Kritik Said terhadap konsepsi yang disodorkan Benda, karena cendekiawan terkemuka Prancis itu menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal, bias gender dan terlalu Barat. Sebab, contoh yang diberi Benda semuanya laki-laki dan semuanya dari Barat kecuali Yesus yang asal Palestina, seperti Said.
Menurut Said, tujuan intelektual adalah meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Dia misalnya menyatakan, seorang intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Ia harus selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian. *


