Ace Sumirsa Ali
Refleksi Diri
Malam itu sekira pukul 22.00 di pertengahan bulan Desember 2022, seorang remaja putri—sebut saja Sari—tampak duduk jongkok di trotoar Alun-alun Rangkasbitung dengan kepala tertunduk. Hingga beberapa waktu lamanya dia tak berani mengangkat kepala sampai sang ibu kandung memintanya untuk bangun. “Neng, ini Bapak yang mau bantu kita,” ucap sang ibu kandung berkata lirih memanggil sang anak yang sejak tiba di lokasi itu memang memilih duduk dengan wajah tertunduk sambil memandang trotoar. Dia mengabaikan riuhnya Alun-alun Rangkasbitung yang menurut remaja kampung seperti dirinya begitu ramai.
Sari yang dipanggil dengan sebutan Neng oleh sang ibu itu merupakan santriwati usia 16 tahunan yang menjadi korban kekerasan terhadap anak perempuan oleh seorang kakek tua bangka. Dia pernah disekap di sebuah kontrakan oleh pelaku, dirudapaksa berulang-ulang, dan diperkosa berkali-kali tanpa mampu melakukan perlawanan. Kegadisannya direnggut paksa, kehormatannya dirusak tanpa bisa melawan sampai dirinya lupa entah berapa kali telah dipaksa memuaskan nafsu birahi sang kakek binal.
Gadis remaja dari keluarga miskin ini memilih belajar di pondok pesantren salafiah selulusnya dari sekolah dasar. Kemiskinan membuat Sari harus mengubur mimpinya untuk sekolah, walau hanya untuk sebuah bangku di sekolah menengah pertama. Sari adalah potret remaja putri Kabupaten Lebak yang tidak mengenal hingar-bingar kota, karena sejak lulus sekolah dasar dia hanya belajar dan belajar. Begitulah kehidupan yang dia jalani sebagai seorang anak pondok salafiyah di sebuah kampung di pedalaman Cimarga. Bertahun-tahun dia gigih mengejar mimpi menjadi wanita berilmu agama demi menggapai kehidupan yang lebih baik kelak. Namun, mimpi indahnya untuk menjadi Ustadzah sirna seketika, sejak peristiwa rudapaksa itu menimpanya.
Kisah Sari hanyalah satu dari ratusan, atau mungkin ribuan, kasus kekerasan seksual pada perempuan di Provinsi Banten tahun ini. Situs Radar Banten pada 7 September 2023 merilis pernyataan Kepala Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Sitti Ma’ani Nina yang menyebutkan bahwa ada 583 kasus kekerasan terhadap anak di Banten. Dari ratusan kasus itu, mayoritas korbannya adalah kaum perempuan yakni sebanyak 500 orang.
Menurut berita tersebut, Kepala DP3AKKB Provinsi Banten menegaskan bahwa pihaknya perlu melatih tenaga tertentu untuk penanganan kasus tersebut di delapan kabupaten/kota se-Banten. Sitti Ma’ani mengatakan bahwa pelatihan dilakukan agar petugas di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak bisa menerapkan kode etik sebagai pekerja sosial. Bagaimana menerapkan etika bekerja, mengatasi dilema, melakukan penanganan terhadap perilaku anak, hingga mempelajari bagaimana keterlibatan petugas terhadap kasus-kasus seksual.
Lain Sari, lain pula yang dialami Uyung, seorang janda separuh tua di perbatasan Pandeglang dan Lebak. Sejak ditinggal suaminya tiga tahun silam karena menghadap sang kuasa, wanita ini memilih mandiri melanjutkan perjuangan suami menjadi pemimpin paguron pencak silat. Namun, karena tak lulus sekolah Uyung jadi kesulitan menata organisasi warisan suaminya itu. Dia tak paham apa yang harus dilakukan agar paguron pencak silatnya bisa tetap lestari. Persaingan dengan paguron lain dari jenis persilatan yang sama atau berbeda membuat keberadaan paguron yang dia pimpin terancam punah. Oleh karena itu, dia hendak membenahi administrasi paguron yang selama ini diabaikan oleh almarhum suaminya.
“Ka, wayahna bantuan Emak. Kumaha ieu paguron titinggal Abah? Kumaha supaya jiga batur, aya aktean, aya ijinan,” ujar Uyung dalam bahasa Sunda dengan menyebut dirinya Emak ketika berkomunikasi dengan penulis. Abah yang dia maksud adalah mendiang suaminya.
***
Cerita tentang Sari dan Uyung hanyalah salah dua potret buram pembangunan Provinsi Banten dalam hal keamanan dan kenyamanan berkehidupan sosial. Betapa provinsi ini belum sepenuhnya bisa memberikan perlindungan yang cukup kepada warganya. Di tengah pesatnya pembangunan fisik di beberapa titik tertentu, ada perihal utama yang kurang mendapat perhatian, yaitu problem kemanusiaan.
Sari adalah santri yatim yang jadi korban kejahatan kemanusiaan, sementara Uyung menjadi tanda betapa lemahnya perlindungan sosial di Banten. Keduanya adalah perempuan berlatar miskin dan hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Keduanya juga tak mendapatkan perlindungan sosial seperti selayaknya. Sebuah kondisi yang sangat ironi, karena Provinsi Banten pernah dipimpin seorang gubernur dari genre perempuan selama hampir 15 tahun berkuasa. Setengah dari jumlah bupati/wali kota di Provinsi Banten juga adalah perempuan, bahkan bisa lebih seandainya saja Pilkada Kota Serang dan Kota Cilegon dimenangkan oleh kontestan perempuan.
Bayi Sungsang
Kelahiran Provinsi Banten ini layaknya bayi sungsang, turujun. Pada istilah lain bisa disebut anomali. Tatananan sosialnya adalah patriarki yang berbasis pada religiusitas Islam yang kental. Namun, berhasil memunculkan perempuan sebagai pemimpin utama dan terdepan. Ini cukup lama terjadi sejak provinsi ini berdiri. Ratu Atut Chosiyah diketahui hampir 15 tahun memimpin. Sementara itu, Iti Octavia Jayabaya, Airin Rachmi Diany, dan Ratu Tatu Chasanah yang masing-masing memimpin selama 10 tahun lamanya, serta Irna Narulita Dimyati yang hampir menginjak 10 tahun. Rekor ini akan berlanjut jika saja Vera Nurlaela Jaman dan Ati Marliati terpilih pada Pilkada 2021 lalu.
Vera Nurlaela diketahui merupakan adik ipar Ratu Atut Chosiyah. Sang suami, Tb Haerul Jaman, merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dan tercatat pernah menjabat sebagai Wali Kota Serang selama dua periode berturut-turut pada 2011–2013 dan pada 2013–2018, serta Wakil Wali Kota Serang pada 2008–2011.
Tidak jauh berbeda, Ratu Ati Marliati merupakan dinasti politik di Cilegon. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Cilegon 2019-2020. Ayahya (Alm) Tb Aat Syafaat adalah Wali Kota Cilegon periode 2000-2010 yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Tb Iman Ariyadi (adik dari Ati Marliati) memimpin sebagai Wali Kota Cilegon periode 2010-2015 dan 2016-2021.
Mengapa penulis menyebut istilah turujun alias anomali? Sebab sejatinya basis kelompok sosial masyarakat Banten adalah ulama, cendikia, jawara. Lalu di wilayah selatan Banten hadir kelompok sosial keempat, yaitu masyarakat adat kasepuhan. Keempat kelompok sosial ini semuanya berwajah maskulin. Di mana dalam hal kekuasaan politik, laki-laki sebagai pilihan utama. Ruang publik kelompok sosial pun adalah milik para lelaki, sementara perempuan berada pada wilayah domestik. Dalam kacamata ulama, tentu tidak ada dikotomi peran publik dan domestik, keduanya memiliki peran strategisnya masing-masing. Begitupun di kalangan cendikia dan jawara. Apalagi pada masyarakat adat kasepuhan hingga saat ini, tidak ditemukan kelompok adat yang dipimpin oleh seorang perempuan.
Kepemimpinan Paradoks
Fakta kepemimpinan politik Banten selama seperempat abad yang anomali ini melahirkan paradoksal dalam beberapa hal. Bahwa tampilnya para wanita di kepemimpinan ini adalah kemajuan dalam bidang demokrasi, siapapun mendapatkan posisi setara, equality gender. Banten yang dikenal religius mampu menembus batas-batas Islam yang patriarki. Namun, jika ditilik lebih dalam, munculnya para wanita dalam kepemimpinan daerah ini hanyalah memperkokoh bangunan politik dinasti. Semua perempuan yang menjadi kepala daerah memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat atau kepala daerah yang sedang dan atau sudah tidak lagi menjabat.
Tidak ada kepala daerah perempuan yang karena kapasitasnya dia mampu tampil sebagai pemenang merebut kekuasaan. Kepala daerah perempuan yang terpilih cenderung karena latar belakang patriarki. I Ratu Atut Chasiyah adalah anak kandung Tb. Chasan Sochib yang dikenal sebagai jawara dan menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Banten. Ratu Tatu Chasiyah dan Airin Rahmi Diany tentu saja lebih kuat lagi kekerabatannya, karena merupakan anak Tb Chasan Sohib sekaligus adik/ipar Ratu Atut Chosiyah. Sementara itu, Irna Narulita adalah istri Ahmad Dimyati Natakusumah, Bupati Pandeglang selama dua periode berturut-turut sebelumnya. Sebagai perempuan nomor satu di Pandeglang, Narulita didampingi wakilnya, Anto Warsono Arban yang merupakan menantu dari Ratu Atut Chosiyah. Kemudian, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya adalah anak dari Mulyadi Jayabaya yang merupakan mantan Bupati Lebak dua periode 2003-2013.
Fenomena ini mencerminkan quality gender hanya bertumpu pada perempuan yang memiliki keistimewaan ekonomi dan nama besar keluarganya yang mampu menjadi kepala daerah. Dinasti politik selama ini dikenal dengan citra negatif karena ambisi yang dituju cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Mempertahankannya pun tidak jarang dilakukan melalui cara-cara menyimpang seperti penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Terlebih lagi, jika kepentingan yang dibawa justru bukan pada upaya memperjuangan kepentingan gender melainkan berkutat pada kepentingan pragmatis keluarga.
Jika saja keterpilihan para perempuan ini ditopang oleh kapasitas memimpin dan visi besar membangun daerah, mungkin saja aroma dinasti bisa ter-tawar-kan oleh prestasi kemajuan daerah yang signifikan. Jika melihat kasat mata, Iti Octavia tampak tidak mampu membawa Kabupaten Lebak lebih baik dari kepemimpinan ayahnya. Selama 10 tahun kepemimpinan terakhir, tak banyak kemajuan signifikan di Lebak. Begitupun dengan Ibu Irna Narulita. Persoalan Pandeglang hingga kini masih berkutat dengan infrastruktur jalan yang buruk di sana-sini, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan yang masih minim. Infrastruktur ekonomi pun masih kelihatan terbelakang. Sementara di Kabupaten Serang, persoalan mendasar tentang kantor layanan publik tak kunjung bisa dibereskan. Membangun kantor untuk bupati dan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) saja masih belum tuntas hingga saat ini. Begitupun Airin Rachmi Diany di Kota Tangerang Selatan, tak terdengar prestasi besar secara nasional ataupun internasional. Kecuali melaksanakan administrasi pemerintahan secara rutin.
Kapasitas memimpin yang penulis maksud tidak sekadar merujuk pada kemampuan menjalankan administrasi pemerintahan, akan tetapi juga untuk menyuarakan kepentingan gender, baik yang bersifat praktis maupun strategis. Di sinilah terdapat pergeseran makna baru dari politik gagasan menuju politik kehadiran. Karena kehadiran saja tidak cukup, tetapi lebih penting jika dapat menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin perempuan.
Refleksi Seperempat Abad
Menebak Pilkada tahun depan, sepertinya kandidat Gubernur atau Wakil Gubernur Banten masih akan mewarnai wajah-wajah perempuan. Poster, baliho, spanduk, dan alat peraga ruang publik sudah dipenuhi oleh wajah Airin Rahmi Diany. Melalui slogan ‘Airin Tiada yang Lain’, mantan Wali Kota Tangerang Selatan ini mencoba membangkitkan romantisme kekuatan Ratu Atut Chosiyah sebelumnya. Dengan ditopang kepala daerah segelombang dan romantisme kekuasaan Ratu Atut, Airin tampak yakin bisa merebut posisi orang pertama di kekuasaan Banten. Begitupun Iti Octavia Jayabaya, di beberapa media dan lembaga survei, namanya masuk perhitungan kuat. Meski belum pasang poster, baliho, dan sejenisnya sebanyak Airin, nama Iti selalu masuk pada perhitungan awak media dan para konsultan politik. Lain halnya Irna Narulita. Karena tak mungkin menjabat kembali Bupati Pandeglang, tak sedikit yang tengah menebak-tebak ke mana arah kekuasaan politik istri Dimyati Natakusumah ini akan berlabuh. Gubernur atau Wakil Gubernur Banten tentu adalah pilihan strategis. Bukan rahasia umum, Ratu Tatu Chasanah menjadi bayangan dari Airin Rahmi Diany. Dia disebut-sebut menjadi cadangan jika elektablitias Airin tak mampu mendongkrak prediksi kemenangan sesuai yang diharapkan sang dinasti politik.
Sebenarnya, penulis tidak mempersoalkan secara substansial siapa Gubernur Banten ke depan, baik dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan tentu sama saja. Hal yang terpenting adalah gubernur atau wakil gubernur yang bisa membuat birokrat Banten bermartabat, tidak hedonis. Pegawai negeri yang ikhlas melayani, bukan pekerja yang tengah memburu harta. Siapapun Gubernur atau Wakil Gubernur Banten nantinya, yang bisa mengembalikan posisi aparat sipin negara (ASN) sebagai abdi negara, pamong praja yang sepenuhnya bertugas melayani rakyat. Siapapun Gubernur dan Wakil Gubernur Banten ke depan, bagi saya terpenting adalah mereka yang bisa membangun ekonomi secara berkeadilan dan tidak memposisikan birokrat sebagai kelompok sosial pada strata ekonomi tertentu. Bisa membagi forsi APBD secara seimbang antara kepentingan belanja operasional pejabat dengan belanja kepentingan rakyat. Rakyatlah yang diutamakan, bukan mendahulukan pendapatan pejabat.
Gubernur Banten ke depan adalah sosok yang mampu mendistribusikan sumber daya ekonomi secara seimbang, menipiskan jarak kepemilikan harta antara si kaya dengan si miskin. Mampu menyeimbangkan kemajuan utara dan selatan. Gubernur yang bisa mengalirkan kelebihan air bersih di Pandeglang untuk kebutuhan pokok masyarakat pesisir di utara. Gubernur yang bisa menyalurkan kelebihan putaran uang di Tangerang ke daerah Banten selatan. Selebihnya, adalah gubernur yang bisa memitigasi bencana dengan baik. Tidak menjadikan banjir sebagai langganan, longsor sebagai kebiasaan.
Gubernur Banten ke depan adalah figur yang tidak menjadikan bencana alam sebagai sebuah tradisi atau sekadar fenomena belaka. Gubernur yang tidak menjadikan musim kemarau sebagai kebiasaan kekurangan air dan musim hujan jadi ajang kebanjiran. Sisanya, adalah pemimpin yang memperlakukan siapapun dengan setara, egaliter seperti halnya karakter ulama dan cendikia. Kalaupun harus jawara, ya jawara yang tunduk patuh pada karakter ulama, bukan sebaliknya, ulama yang bertindak seperti jawara.***

(Penulis, anggota pengurus Perkumpulan Urang Banten (PUB) Kabupaten Lebak, ketua Divisi Sosial Salaka Institute, dan wakil ketua Badan Amil Zakat Nasional Provinsi Banten. Wartawan pemegang kartu utama, jadi anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak masa jabatan 2015-2019. Lulusan S-2 Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra. Jakarta, ini jadi pula aktivis sosial kemasyarakatan)


