
Dodi Nandika
Dalam situasi negeri kita yang sering dikatakan sedang “tidak baik-baik saja”, rasanya masih perlu, dan bahkan makin perlu, kita saling mengingatkan tentang pentingnya membangun masyarakat yang berkeadaban. Untuk membangun masyarakat yang berkeadabandiperlukan kesadaran moral dalam diri insan-insan pembentuk masyarakat tersebut, dalam kehidupan sosialnya.
Kesadaran moral juga disebut suara hati. Insanberkesadaran moral sama dengan mempunyai hati nurani. Atas bimbingan nurani, muncul sikap dan perilaku bernilai luhur. Suara hati nurani merupakan pengejewantahan nilai-nilai luhur yang berkuasa atas diri seorang insan. Bagi insan yang mengikuti hati nurani, ia akan malu jika melakukan perbuatan tak bermoral. Ia akan malu jika membiarkan ada perbuatan tak bermoral di sekitarnya. Tentu bisa saja dibalik, insan yang suka perbuatan tak bermoral berarti tak memiliki hati nurani. Atau, orang yang membiarkan perbuatan tak bermoral berlangsung di sekitarnya berarti tak memiliki nurani. Inilah yang sering disebut sebagai ketumpulan hati nurani. Ibarat pisau, ketumpulan hati nurani terjadi karena jarang digunakan atau enggan diasah. Jika seorang insan selalu berupaya mempertimbangkan tindakannya dengan nurani, berarti ia sedang mengasah diri untuk menuju keutamaan moral.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kesadaran moral perlu diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Kesadaran moral tersebut tidak hanya bermanfaat untuk memberi nilai pribadi, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.
Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkembangkan kesadaran moral tersebut sehingga teraktualisasi dalam sikap dan perilaku sehari-hari? Salah satu jalan yang terbuka lebar adalah pendidikan; pendidikan yang tidak hanya mencetak sumberdaya manusia yang memiliki kecerdasan nalar dan keterampilan motoristik, berjiwa kewirausahaan, tetapi juga berakhlak mulia, termasuk beretika. Itulah yang disebut kecerdasan kalbu. Yakni pendidikan yang mampu mentransfer dan menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Bukan pendidikan yang hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran, tanpa menyemai dan memupuk nurani. Pendidikan yang tidak hanya mengajarkan, tetapi membangun kebiasaan (habituation) dalam kehidupan di sekolah dan di dalam keluarga. Pendidikan yang konvergen terhadap peran orang tua dalam membentuk kepribadian atau akhlak mulia. Ini sejalan dengan empat pilar belajar yang diusung oleh UNESCO yaitu learningtoknow, lerarningtodo, learningtolivingtogether, dan learningtobe. Keempat pilar itulah yang selayaknya berkembang secara seimbang di dunia pendidikan untuk mendukung terwujudnya masyarakat berkeadaban.
Salah satu perbuatan tidak bermoral yang sekarang mendapat perhatian serius dari seluruh komponen anak bangsa adalah korupsi. Perbuatan mungkar yang satu ini boleh dibilang sudah menjadi semacam penyakit kronis yang menimpa bangsa kita, sampai-sampai ada yang merasa pesimis untuk bisa memberantas hal tersebut. Sering pula dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan berlapis-lapis sehingga untuk memberantasnya menjadi sangat sulit atau mustahil. Pertanyaannya, apakah jika begitu tidak perlu ada upaya untuk memberantasnya karena akan sia-sia belaka? Padahal jika dibiarkan, korupsi, yang merupakan penyakit dan musuh semua agama ini bakal merusak sendi-sendi kehidupan sebelum akhirnya menjadikan bangsa ini lumpuh.
Tampaknya, sikap yang ditunjukkan terhadap korupsi sekarang ini mendua. Di satu sisi, secara lahiriah, banyak orang mencela dan mengutuknya. Tetapi di pihak lain, dalam banyak kasus terjadi semacam “pembiaran” dan “upaya memaklumi”. Dengan afeksi atau sikap batin seperti ini, kita tidak akan mampu menolak berbagai godaan untuk melakukan moral hazardberupa korupsi. Padahal, hanya kalbu yang sudah tercerahkan dan suara hati bersih yang mampu menolak dengan tegas dan menyatakan “tidak ada maaf” pada korupsi. Sikap ragu-ragu merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Korupsi yang dibiarkan terus berlangsung menjadi penghambat kemampuan bangsa membangun diri. Korupsi merupakan suatu kekuatan destruktif, sedangkan kemajuan bangsa memerlukan kekuatan konstruktif. Jadi, jika kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat, maka yang harus dilakukan adalah menjaga agar kekuatan konstruktif itu lebih besar ketimbang kekuatan destruktif.
Korupsi boleh dibilang hasil perpaduan keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Pelakunya adalah mereka yang tidak dapat mengendalikan keserakahan dan tidak peduli atas akibat perbuatannya. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk melahirkan perubahan mendasar dalam sikap terhadap korupsi? Pendidikan seperti apa yang dapat menimbulkan sikap seperti ini? Tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi korupsi, dalam konteks pendidikan, merupakan upaya untuk mendorong generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima ke sikap tegas menolak korupsi, tidak akan pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk membangun sistem nilai yang “corruptionphobia”. Perubahan sikap ini akan terjadi setelah lahir generasi yang mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam sistem nilai yang mereka warisi, dan mampu memperbarui sistem nilai warisan itu berdasar situasi-situasi baru. Dan perubahan sikap dan perilaku itu hanya dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai. Pendidikan antikorupsi, dengan demikian, merupakan pendidikan untuk penanaman nilai-nilai. Bukan untuk memupuk kemahiran beretorika tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi.
Pendidikan memang bukan sekadar proses pengayaan intelektual, tapi merupakan ikhtiar untuk menumbuhkembangkan benih-benih adab manusia (seperti nilai-nilai kejujuran dan keadilan) dan mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan.Pendidikan yang baik adalah wahana utama untuk menumbuhkan etika atau integritas individu.Individu yang ‘berpendidikan’ diharapkan dapat membantu terciptanya kehidupan masyarakat berkeadaban, yaitu masyarakat yang mampu membangun peradaban luhur secara berkelanjutan.
Dodi Nandika, pembelajar dari Rangkasbitung


