(Refleksi 23 Tahun Terbentuknya Provinsi Banten)
Dr. Encep Supriatna, M. Pd.
Para ahli bersepakat, salah satu elevator sosial masyarakat adalah pendidikan. Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan, ada baiknya kita tengok Ayat 1, Pasal 1, Bab 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ayat itu berbunyi, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Dengan demikian, pendidikan memiliki kedudukan yang strategis dalam membantu pengembangan potensi peserta didik, melalui latihan dan pembimbingan agar potensi peserta didik berkembang dengan optimal bagi kehidupannya nanti.
Banyak negara yang sumber daya alamnya kurang, seperti Singapura, tetapi pendapatan perkapitanya tinggi. Ini karena sumber daya manusianya dan daya saingnya cukup tinggi pula. Konon, hanya ada dua orang yang bisa masuk dan tinggal di Singapura : orang kaya sekali dan orang yang pintar sekali.
IPM di Provinsi Banten
Banten sudah 23 tahun jadi provinsi. Sudah saatnya kita melihat provinsi paling barat di Pulau Jawa ini maju dan berkembang, seperti provinsi-provinsi lain yang relatif kelahirannya sama. Untuk mengukur perkembangan pendidikan di suatu daerah memerlukan alat ukur tertentu agar tidak bias menilai. Alat ukur itu, indeks pembangunan manusia (IPM).
Pada tahun 2007, IPM Banten berada pada angka 61,14. Pada tahun 2022, berada pada angka 73,32. Artinya, ada kenaikan sebesar 12,18 %, meski belum signifikan, karena angka 73,32 ini masih dalam kategori perkembangan sedang, belum termasuk tinggi. Kenaikan itu karena pengaruh dari daerah Tangerang Selatan yang rata-rata IPM-nya pada angka 80-an. IPM terrendah, pada angka 60-an, ada di Kabupaten Lebak dan di Kabupaten Pandeglang.
Disparitas pembangunan utara dan selatan selama ini memang jadi pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi Banten. Di bagian utara, khusunya Tangerang Raya, sebagai daerah penyangga ibu kota, pembangunan relatif pesat, ditandai dengan berdirinya pusat-pusat metropolitan atau bahkan megapolitan baru. Semua berdampak pada akses pendidikan yang tinggi dan pemerataan pendidikan yang tinggi pula.
Program Retrievaling
Penulis dan mantan kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Drs. Didi Supriadie, M.Pd. (Allaahu Yarham) sempat mendesain sebuah program terkait dengan upaya penanganan anak yang putus sekolah, khususnya di Pandeglang dan di Lebak. Program yang didesain bernama retrievaling (dari bahasa Inggris to retrieve, retrieving = mengambil kembali), maksudnya, pelacakan terhadap anak-anak usia 7-15 tahun yang drop out sekolah. Calon peserta didik dijemput, dan secara persuasif edukatif diajak masuk sekolah.
Pelacakan atau penjemputan itu dilakukan oleh sebuah satuan tugas (satgas), bergerak dari desa ke desa, bahkan dari rumah ke rumah. Setelah calon peserta didik diperoleh, lalu diinventarisasikan dan diadministrasikan, akhirnya sampai pada tindakan. Namun, program ini tak selalu mulus, antara lain, karena berbagai kendala di lapangan, seperti calon peserta didik yang sulit ditemui.
Program pelacakan ber-satgas terhadap anak usia 7 – 15 itu, sebetulnya, sangat penting untuk peningkatan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) anak usia sekolah tetapi tidak sekolah. APK dan APM ini pada akhirnya akan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) … (bersambung)

(Penulis, dosen tetap Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kampus Serang. Di kampus yang sama, penulis jadi dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).Penulis anggota Dewan Pembina Salakanagara Institute)


