Skip to content
SALAKANAGARA INSTITUTE

SALAKANAGARA INSTITUTE

Yayasan Kajian Kemanusiaan dan Demokrasi

Primary Menu
  • BERANDA
  • TENTANG KAMI
    • PROFIL SALAKANAGARA INSTITUTE
    • PENGURUS SALAKANAGARA INSTITUTE
    • PENGELOLA WEBSITE
  • OASE
  • OPINI
  • FOKUS BANTEN
  • INFO SI
  • NEWSLETTER SI
    • EDISI 1
    • EDISI 2
  • FOKUS
  • INSIGHT
  • Home
  • OPINI
  • Dialektika yang Kosmologis
  • OPINI

Dialektika yang Kosmologis

SI 13 Maret 2024

Anwari WMK

HAMPARAN  planet Bumi merupakan bentangan dialektika. Hayat pada planet yang sebuah ini adalah riwayat dialektika. Dengan gugur daun-daun, pepohonan berdialektika. Dengan erupsi, gunung-gunung berapi berdialektika. Dengan banjir, sungai-sungai berdialektika melawan sedimentasi [tersebab degradasi ekosistem]. Begitu pun dengan kelahiran dan kematian makhluk-makhluk bernyawa, tak lain dan tak bukan, adalah dialektika. Maka, merayakan kehidupan di  bumi, sesungguhnya merayakan dialektika. Mengutuk kehidupan di planet ini sebenarnya mengutuk dialetika. Tanpa dialektika, bumi kehilangan suluh, penerang jalan perubahan-perubahan yang niscaya.

Terutama melalui rumusan filsuf Jerman abad XIX, GWF Hegel, kita lantas sadar satu hal. Bahwa, “dialektika” merupakan idiom tentang segala realitas alam semesta yang timbul sebagai akibat dari pertentangan atau perbenturan antara dua hal. Pertentangan dan benturan itulah yang lantas meneguhkan hadirnya hal-hal baru. Antitesa melawan tesa, lalu lahir sintesa. Pada giliran selanjutnya sintesa pun berubah menjadi tesa baru, dan bersiap-siap diruntuhkan oleh antitesa yang lain lagi. Sedemikian rupa dialektika itu, hingga “tanya-jawab” terkukuhkan sebagai salah satu prosedur dalam hal meraih ilmu pengetahuan.

Pertentangan atau perbenturan itu dimengerti sebagai penanda paling pokok dari berlanjutkan dialektika planet Bumi. Namun seperti dikatakan Hegel dalam Phenomenology of Mind, pertentangan atau perbenturan itu bukanlah varibel penentu lestarinya kejahatan dalam durasi waktu panjang. Pada hamparan planet Bumi, dialektika manusia terlalu agung untuk hanya dimengerti secara picik sebagai padanan dari aksi-reaksi dalam dunia binatang. Manusia adalah pengibar panji-panji kebajikan dalam konteks the course of the world. Itulah mengapa, kesadaran tentang diri sendiri, siapa dan bagaimana diri sendiri, merupakan dasar untuk membentuk individualitas yang murni, individualitas yang hakiki.

Partikel, materi, pohon dan binatang tak bisa mengelak dari kemestian sebagai partisipan-partisipan riil yang turut serta menentukan kelanjutan dialektika Planet Bumi. Tanpa dialektika, Planet Bumi vakum dari makna-makna. Bumi sunyi sepi dari keindahan narasi, jika sekiranya tak pernah hadir dialektika. Tapi di atas segalanya, hanyalah makhluk manusia yang mampu berdiri di puncak keagungan dialektika. Itu karena, individualitas manusia merupakan sebuah tesa, dimana antisesanya adalah keadilan sosial. Individualitas [sebagai tesa] tak akan hancur lebur oleh tegaknya keadilan sosial [sebagai antitesa].

Manusia adalah tesa dan sekaligus antitesa dalam jagat dialektika yang tak pernah padam. Sebagai individu dalam wilayah soliter, manusia adalah produsen bagi kehadiran berbagai macam tesa. Pada titik ini, hasrat subjektif yang banal berkesempatan tumbuh dengan sangat subur. Sebagai individu dalam ranah sosial, manusia adalah produsen bagi kehadiran berbagai macam antitesa. Pada titik ini, manusia terdedahkan sebagai kekuatan koreksi terhadap kebudayaan dan peradaban yang sedang bergerak dinamis.

Jika dialektika puncak khas manusia ini diilustrasikan ke dalam sebuah skema, maka kita masuk ke dalam arena diskusi tentang “hati nurani” dan “naluri”. Pada makhluk dalam kategori binatang, dialektika sepenuhnya didorong oleh motif-motif naluri. Pada diri manusia, dialektika dipicu oleh naluri dan suara hati nurani. Dalam eksistensi manusia, dialektika pun acapkali meruncing sebagai pertarungan antara kehendak hati nurani yang sublim dan hasrat instingtif yang menggebu-gebu. Kebajikan yang ditahbiskan Hegel sebagai dasar bagi the course of the world adalah dialektika yang dicetuskan oleh kehendak hati nurani manusia yang sublim.

Bagaimana jika ternyata manusia terseret jauh ke dalam serial dialektika yang sepenuhnya didorong oleh motif-motif naluri? Apa yang terjadi jika substansi yang termaktub dalam narasi-narasi pencerahan merupakan timbunan motif-motif naluri? Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini tertera dalam penjelasan berikut.

Dialektika manusia hanya memperparah ketergerusan kemanusiaan di ruang-ruang publik. Kebodohan yang dikamuflase dengan kesantunan, kepentingan subjektif yang dibungkus rasionalitas, dan terlampau kuatnya ambisi untuk menang, bakal sedemikian rupa mewarnai ruang-ruang publik. Bukan atas dasar keterpaksaan manusia menista sesamanya, tapi justru seutuhnya berlandaskan kesenangan dan pengagungan diri sendiri. Dalam situasi yang begitu problematis, manusia lalu terlatih untuk senantiasa terbahak dan beriang gembira saat sukses menista sesamanya.

Kehidupan pada abad ke-21 sekarang  hanya mungkin tersusun sebagai sebuah orde peradaban humanistik manakala kelahiran dialektika-dialektika baru didorong oleh kehendak hati nurani yang murni. Manusia dituntut mampu menggeledah dirinya sendiri, mempertanyakan dirinya sendiri, apakah telah bebas dari kebodohan yang menjungkir-balik kebenaran, apakah merdeka dari kepentingan subjektif yang banal dan apakah bersih dari ambisi untuk menang melalui jalan-jalan nista. Metode paling mungkin diberlakukan sebagai solusi dalam konteks ini ialah memahami seluruh kebajikan sejalan dengan paradigma irfan atau sufisme. Bahwa kebajikan seorang manusia diwujudkan bukan untuk mendapatkan aplaus atau meraih pujian dari sesama manusia. Kebajikan diwujudkan sebagai benang merah yang mempersambungkan dialektika planet Bumi dan dialektika kosmologi yang luas tak bertepi.

Bagaimana pun, tersembul perbedaan mendasar antara dialektika bumi pada satu sisi dan dialektika kosmologis pada lain sisi. Dalam dialektika bumi, manusia terjebak ke dalam komparasi atau perbandingan esensial dengan manusia lain. Kebajikan dilakukan hanya untuk tujuan mengungguli orang lain menurut takaran-takaran materi, gengsi, hegemoni, dan kehormatan primordial. Dialektika bumi hanya memajalkan kepekaan hati nurani, bahkan menegasikan secara total hati nurani.

Dalam dialektika kosmologis, perwujudan kebajikan sepi dari tepuk tangan, serta bukan narsisme yang memuakkan. Secara kosmologis, kebajikan merupakan manisfestasi dari keberpihakan, pengeblokan, dan keberwilayahan manusia secara total kepada Tuhan. Dan Tuhan dalam dialektika kosmologis dipahami sebagai sumber cahaya cinta hakiki. Kebajikan seseorang tak diberlakukan sebagai rujukan menghakimi kebajikan orang lain sebagai benar dan salah. Kebajikan juga tak dimaksudkan sebagai rasionalitas bagi tegaknya sistem-sistem sosio-kultural penghambaan manusia kepada manusia lain atas dasar relasi-relasi kuasa politik dan ekonomi.

Eksistensi manusia pada hal ini  jelas terpaku dalam satu titik kesadaran, bahwa dialektika Bumi tergelar sebagai satu keutuhan makna yang mustahil dipisahkan dengan dialektika kosmologis. Jika ternyata dialektika Planet Bumi diamputasi dari dialektika kosmologis, maka malapetaka besar kian berpilin-pilin. Pertama, penistaan manusia atas manusia lain bakal terus berlangsung tanpa bisa dibendung, menjadi gema keabadian yang menelusup masuk ke dalam berbagai macam sistem kehidupan, sehingga abad sekarang terus diwarnai oleh timbulnya berbagai macam pola perbudakan. Kedua, melalui glorifikasi gagasan-gagasan berwatak materialistik pembangunanisme, pertumbuhan ekonomi, dan matra-matra keberhasilan modernisasi, maka penistaan manusia terhadap lingkungan berdampak serius pada luluh lantaknya tatanan ekosistem. Pada akhirnya, hanyalah persoalan waktu belaka manakala bencana sosial dan bencana alam terus-menerus hadir, dan tak pernah usai mencetuskan malapetaka yang memilukan.

*Anwari WMK adalah praktisi pendidikan dan pengamat sosial-budaya.

SI
Author: SI

Post Views: 119

Continue Reading

Previous: Parpol dan Logika Kedaulatan yang Terlupakan 
Next: Demokrasi dan Paradoks Kemakmuran

ARTIKEL LAIN

Masihkah Kemerdekaan Milik Rakyat
  • OPINI

Masihkah Kemerdekaan Milik Rakyat

6 September 2025
Belajarlah pada Rayap
  • OPINI

Belajarlah pada Rayap

11 Juni 2025
Kabinet Gemuk, Akankah Jadi Solusi?
  • OPINI

Kabinet Gemuk, Akankah Jadi Solusi?

3 Desember 2024

JANGAN LEWATKAN

Masihkah Kemerdekaan Milik Rakyat
  • OPINI

Masihkah Kemerdekaan Milik Rakyat

6 September 2025
ORGANISASI MASYARAKAT DAN PERAN  KONTROL SOSIAL
  • FOKUS

ORGANISASI MASYARAKAT DAN PERAN  KONTROL SOSIAL

29 Juni 2025
Penegak Hukum Lemah, Premanisme di mana-mana
  • FOKUS

Penegak Hukum Lemah, Premanisme di mana-mana

29 Juni 2025
Politik Jatah Preman dan Relasi Kuasa Negara
  • BUKU

Politik Jatah Preman dan Relasi Kuasa Negara

25 Juni 2025
Copyright © SALAKANAGARA INSTITUTE