Demokrasi selalu kita maknai dengan mudah dan normatif sebagai “dari rakyat , oleh rakyat dan untuk rakyat”. Kekuasaan kepada penyelenggara negara diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum (pemilu), atau melalui lembaga tinggi negara atau melalui pengangkatan oleh penguasa yang memiliki otoritas dari hasil pemilu. Pelaksanaan demokrasi dimaksudkan untuk kepentingan dan kemajuan rakyat. Kita tahu, salah satu tujuan bernegara adalah mencapai kemakmuran untuk seluruh rakyat secara adil dan merata, bukan untuk segelintir rakyat, apalagi dengan mengorbankan atau melupakan kepentingan dan hak-hak mayoritas rakyat.
Salah satu ukuran kemakmuran rakyat yang paling mudah dan umum digunakan—walau bisa “menyesatkan”—adalah pencapaian pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita yang terus meningkat, apalagi mencapai angka yang lebih tinggi dibanding era sebelumnya atau dibandingkan dengan pencapaian dari rakyat negara lain, dipandang sebagai sebuah “prestasi”.
Dengan membagi Gross Domestic Product (GDP) dengan jumlah penduduk diperoleh perhitungan pendapatan perkapita penduduk. GDP berasal dari gabungan jumlah konsumsi privat (barang tahan lama dan barang konsumsi sekali pakai dan jasa), investasi, pengeluaran pemerintah serta Ekspor Bersih (Ekspor dikurangi Impor) atau dengan rumus GDP = C + I + G + (X-M) dimana C = Konsumsi privat, I = Investasi, G = Pengeluaran Pemerintah serta X = Ekspor dan M = Import.
Setiap GDP yang tumbuh dapat dilihat dari komponen apa saja yang dominan menentukan pertumbuhan tersebut. Bila kita lihat konsumsi privat, investasi dan net-ekspor (X-M) maka dari ketiga komponen penentu GDP tersebut didominasi oleh kelompok kecil rakyat yang menguasai ekonomi Indonesia. Sementara, mayoritas rakyat yang umumnya masih berpenghasilan rendah dan menengah rendah yang umumnya hampir sebagian besar penghasilan mereka habis terpakai untuk konsumsi dan minim tabungan, apalagi berinvestasi. Pertanyaannya, ‘Siapakah sesungguhnya yang menikmati kemakmuran di negara kita? Mereka yang segelintir tapi menguasai sumber-sumber ekonomi (bahkan politik) menikmati dengan pertumbuhan secara deret ukur, sementara rakyat yang mayoritas hanya tumbuh dalam deret hitung. Karena itu, betapa besarnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang akan terjadi dari waktu ke waktu.
Ketika kita berbicara soal nepotisme dan kolusi antara penguasa dan pengusaha yang di dalamnya tidak lepas dari korupsi maka kita menjadi miris bahwa Tap MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai produk reformasi, saat ini terasa seperti kehilangan kekuatannya. Praktik-praktik KKN kembali mendapat tempat dan bahkan tidak sedikit yang mempertontonkan secara terbuka, tanpa khawatir ada hukum yang mengancam dirinya, terlebih hukum Allah.
Ketika nepotisme makin kuat, kolusi dan korupsi akan terus mengikuti dan begitu sebaliknya. Sebab, ketiganya setali tiga uang. Mengapa nepotisme terasa makin kuat saat ini? Praktik KKN telah menjerat banyak pelaku, yang mereka akan saling melindungi. Bila ada yang ingin melepaskan diri dari lingkaran itu, apalagi ingin berseberangan atau menjadi penentang, maka harus bersiap untuk menghadapi kasus hukum.
Kita makin khawatir tentang perkembangan demokrasi Indonesia ketika partai-partai politik bersatu menjadi satu kekuatan yang menjadikan kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif saling menguatkan, bukan untuk kepentingan rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan segelintir rakyat yang selama ini mendapatkan keuntungan luar biasa dari menguatnya praktik KKN itu, termasuk untuk melindungi diri dari jerat hukum.
Demokrasi ditujukan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran rakyat akan menjadi jauh panggang dari api, dengan makin kuatnya praktik nepotisme—yang diikuti kolusi dan korupsi; atau sebaliknya. Itulah sebabnya kita menolak keras nepotisme, kolusi dan korupsi; serta berharap para pemimpin, yang di eksekutif, legislatif, yudikatif dan di luar itu, yang di pusat dan daerah, mendapat taufik dan hidayah dari Allah, agar hati, pikiran dan langkahnya berada di jalan kepentingan rakyat. Semoga Allah menghentikan semua yang berbuat curang, khianat dan mengorbankan rakyat.
(Firdaus Badarudin; Konsultan Keuangan dan Bisnis)