H. Akhmad Jajuli
Anak genealogis Tryana Sjam’un (TS) ada lima: tiga laki-laki dan dua perempuan. Termasuk cucu-cucunya dan nanti cicit-cicitnya, serta seketurunannya. Tapi anak ideologis TS telah, sedang, dan akan senantiasa terus bertambah.
Pada usianya yang Ke-80 (23 November 2023) sejumlah anak ideologis TS telah lahir. Yakni sejumlah warga Banten yang tergabung dalam kepengurusan Salakanagara Institute (SI).
Manusia (human, mankind, homo sapiens, an-nas, jelema) telah Allah SWT ciptakan dengan segala kesempurnaan ciptaan (fi ahsani taqwim). Dalam kesempurnaannya nanusia tampil sebagai makhluk yang berkelompok dan bekerjasama (zoon politicon), makhluk yang saling membantu (homo socius). Apabila “kesempurnaan” itu tidak dijaga, tidak dikelola dengan baik maka akan berpotensi menjadi makhluk yang saling melemahkan dan bahkan memusnahkan pihak lainnya (homo homini lupus).
Saat menyelenggarakan acara tasyakuran ulang tahun ke-80 TS di Puri Salakanagara, Pandeglang, Sabtu, 25/11/2023) telah diterbitkan buku bertajuk: “80 Tahun Tryana Sjam’un untuk Kemanusiaan dan Demokrasi.” Buku ini sarat berisi kisah perjalanan hidup Beliau yang mengharu biru, gagasan-gagasan cemerlangnya, pengalaman hidupnya mulai tingkat lokal (kampung) hingga mendunia (global) serta segala warisan-warisannya (legacy).
Kemanusiaan (human being, humanity) dan demokrasi (democracy) adalah dua nilai kehidupan utama TS yang terus diperjuangkannya secara konsisten. Kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan adalah kondisi kemanusiaan yang “tidak disukainya.” Dengan istilah yang digunakannya sendiri, sosiokapitalisme, TS menjadikan ilmu, pengalaman dan kekayaan yg dimilikinya digunakan untuk membantu dan menolong sesama manusia — tidak digunakannya untuk menindas atau mengeksploitasi sesama manusia, sebagaimana lazimnya kaum kapitalis. Paham yg digunakannya adalah “kapitalis yang berperikemanusiaan.”
Atas nilai-nilai yang diusungnya selama ini TS telah mendirikan Yayasan Sumur Tujuh (Pendidikan Formal), Yayasan Saija Adinda (Perpustakaan), Lembaga Kajian, Penerbitan, dan lain-lainya. Langkah yang sangat baik untuk diikuti oleh tokoh-tokoh Banten lainnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara TS lebih memilih “cara demokrasi” sebagai perangkat untuk mensejahterakan manusia secara berkeadilan. “Demokrasi” dalam arti yang sesungguhnya, yakni negara yang berkedaulatan rakyat dan takyat yang berdaulat untuk menata dan mengurus kehidupannya untuk menjadi mulia sebagai manusia. Demokrasi yang benar-benar ‘demos’ (rakyat) yang ‘kratos’ (yang mengatur pemerintahan) sesuai jargon: “Dari, Oleh dan Untuk Rakyat!” Demokrasi harus memastikan terjaminnya hak-hak rakyat (Hak Hidup, Hak Menyatakan Pendapat di Muka Umum, Hak Berserikat, Hak Beragama, Hak Jauh dari Rasa Takut, Hak untuk memperoleh Rasa Aman, Hak untuk memperoleh Pendapatan yang Layak), memastikan ikut sertanya rakyat dalam perumusan dan penetapan kebijakan-kebijakan yang terkait kepentingan rakyat serta memastikan rakyat dapat berpartisipasi dalam penentuan urusan-urusan dan jabatan publik (Perumusan UU, Perda, Perdes, Pilkades, Pileg, Pilkada, Pilpres).
Seiring dengan pendirian SI ini TS telah bersiap mewakafkan sejumlah aset pribadi dan keluarganya untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan SI termasuk nanti penambahan lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal — termasuk, nanti, Universitas Salakanagara.
Para Pengurus SI harus memahami dua nilai esensial yang selama ini diusung dan diperjuangkan oleh TS: “Kemanusiaan dan Demokrasi “
Para Pengurus SI, dan sejumlah warga Banten lainnya, akan “sah” menjadi anak Ideologis Tryana Sjam’un apabila juga termasuk orang-orang yang senantiasa memperjuangkan tetap diusungnya dan diperjuangkannya nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Tentu saja semuanya harus terus dikerjakan dengan menghasilkan sejumlah karya dan sejumlah prestasi yang lebih baik dari hari ini — tidak sekadar menjadi bahan obrolan (ngawangkong) atau “ngadu bako” semata. Tidak boleh hanya sebatas menjadi bahan Rapat Kerja atau FGD (Focus Group Duscusion). Tapi harus dikerjakan (to do). Ulah ngan saukur ‘heueuh bueuk’ atawa malah ‘ngabuntut bangkong’ (jangan sekadar Ya Ya tapi tidak pernah dilanjutkan atau berkelanjutan secara nyata).
Insya Allah!


