
Oleh Firdaus Badarudin *)
Baru-baru ini viral sebuah foto lima pemulung berusia anak-anak dan dua anak sekolah sebaya mereka yang berjalan dengan arah berbeda dan penampilan yang kontras. Foto ini memberikan sebuah pesan penting bagi siapa saja yang melihatnya dengan mata hati (nurani) yang bersih dan peduli terhadap nasib dan masa depan anak bangsa, khususnya para generasi muda dari kalangan keluarga pra-sejahtera atau keluarga fakir atau miskin.
Ketika anak-anak sekolah mendapat Makan Bergizi Gratis (MBG) dari program pemerintah, para pemulung anak-anak ini atau semua anak-anak yang tidak sekolah karena orangtuanya tidak mampu, mereka tidak mendapatkannya, padahal justru merekalah yang sangat membutuhkan makanan bergizi dan sekolah gratis untuk dapat mengubah nasib mereka melalui jalur pendidikan dan kesehatan yang baik. Apakah Pemerintah telah memiliki program khusus untuk anak-anak dari keluarga pra-sejahtera dan keluarga fakir atau miskin agar mereka bisa memasuki kehidupan yang lebih layak dan dapat bersaing dengan anak-anak seusianya yang beruntung karena memiliki keluarga yang lebih mampu dan memiliki kesempatan yang besar untuk meraih masa depan yang lebih baik bahkan gemilang?
Kita makin tersadar, ketika para mahasiswa melalui BEM se-Indonesia bergerak bersama masyarakat sipil peduli masa depan Indonesia melakukan “Aksi Indonesia Gelap” pada bulan Februari 2025 dan puncaknya pada tanggal 20 Februari 2025 pada saat para gubernur, wali kota dan bupati yang terpilih melalui Pilkada serentak tahun 2024 dilantik oleh Presiden Republik Indonesia di istana negara.
Terdapat lima tuntutan utama yang disuarakan oleh BEM se-Indonesia, yaitu 1) mendesak pemerintah mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi dalam penggunaan APBN karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat; 2) mencabut pasal dalam RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang agar independensi akademik terjaga; 3) meminta pemerintah mencairkan tunjangan dosen dan tenaga pendidik, tanpa ada pemotongan ataupun hambatan akibat birokrasi; 4) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi total pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) dan mengeluarkannya dari anggaran pendidikan; dan 5) mendesak pemerintah berhenti membuat kebijakan publik tanpa basis riset ilmiah dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

“Aksi Indonesia Gelap” makin mendapat tempat ketika berbagai kasus mega korupsi terbuka yang anehnya walaupun jumlahnya sampai ratusan triliun namun tidak terdapat tanggapan kritis dan fundamental dari para petinggi negara dan lembaga tinggi negara, para petinggi partai ataupun para kaum intelektual dan para pemimpin agama. Sepertinya kasus-kasus mega korupsi sudah dianggap hal yang biasa di negeri ini. Sikap acuh dan apatis makin meluas. Akankah hukum dan keadilan benar-benar bisa tegak di negeri ini ?
Dari foto viral di atas yang menunjukkan pemulung anak-anak dan anak-anak sekolah berjalan dengan arah yang berbeda, akankah mereka akan saling meninggalkan dan makin menjauh akibat abainya negara terhadap nasib anak-anak dan keluarga yang fakir atau miskin tersebut? Apakah kita masih bisa berharap akan adanya suatu perubahan yang bersifat fundamental di negeri ini, khususnya bila para penguasa yang berjiwa bersih, berjiwa pemimpin dan berjiwa negarawan, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun yang di pusat dan di daerah-daerah benar-benar hadir untuk rakyat dan negaranya? Atau akankah kita makin cemas dengan masa depan Indonesia?
Satu hal yang sangat kita harapkan adalah adanya kesadaran dan raa takut dari para pemegang kekuasaan atau yang memiliki akses kepada pemegang kekuasaan terhadap adanya pertanggungjawaban atas apa-apa yang mereka pimpin atau terhadap apa-apa yang mereka kerjakan. Membiarkan atau melupakan bagian dari anak bangsa yang hidupnya berada di garis atau bahkan di bawah garis kemiskinan dapat kita ibaratkan sebagaimana tanggung jawab orangtua yang menyia-nyiakan anak-anaknya dengan tidak membekali mereka dengan iman dan ilmu serta akhlak yang terpuji, sehingga mereka hidup dalam kondisi yang lemah. Tidak hanya lemah dalam kehidupan ekonomi dan sosial tetapi lemah pula dalam iman, ilmu dan akhlak.
Demikian pula dengan penguasa yang menyia-nyiakan rakyatnya, termasuk membiarkan atau bahkan menyebabkan mereka menjadi makin lemah dan makin tertinggal sehingga mereka berada dalam posisi dan situasi yang serba sulit. Seolah-olah bagi mereka tidak terbuka kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik dan mereka terus berada dalam ketertinggalan dibandingkan saudara-saudara mereka sebangsa dan setanah air yang lebih beruntung karena kesempatan untuk maju dan lebih unggul mereka dapatkan. Sesungguhnya penguasa yang adil tempatnya adalah di surga, namun penguasa yang tidak adil dan membuat rakyatnya menderita akan berat hukuman dari Allah, Penguasa sesungguhnya. *
*) Firdaus Badarudin – Alumni FIB-UI, konsultan keuangan dan bisnis


