Dalam babak-babak sejarah peradaban posisi pemimpin selalu jadi pusat sorotan. Seolah, setiap konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat di manapun, mendudukkan pemimpin sebagai sumbu gerak perkembangannya. Barangkali karena menjadi “pusat perhatian” itulah, orang-orang menganggap lazim jika posisi pemimpin kerap dijadikan ajang rebutan. Padahal, sebagaimana watak setiap kedudukan, ia pasti memiliki konsekuensi-konsekuensi. Yakni, ada fungsi dan tanggung jawab yang melekat (inherent) padanya.
Dengan mengandaikan kepemimpinan sebagai fungsi di tengah masyarakat maka posisi sentralnya sebagai penggerak kemajuan itu mengandung nilai sakral. Dalam artian, kalau setiap gerak atau pekerjaan itu membentuk pengabdian. Yang membedakannya “hanya”lah, untuk apa dan kepada siapa sebuah fungsi, kerja atau pengabdian itu ditujukan.
Oleh sebab itu, tak terelakkan apabila kita lantas terbawa arus untuk menelusuri kembali asal-muasal posisi memimpin tersebut diperoleh. Dan selanjutnya, untuk apa kepemimpinan itu ditunaikan. “Dari mana” dan “untuk apa” ini penting selalu diingat, karena sangat menentukan wajah sebuah kepemimpinan dilaksanakan; akankah ia elok rupawan atau buruk mengerikan.
Dalam ruang demokrasi, ketika seseorang diangkat untuk memimpin sebuah negara adidaya, ia mengatakan “in the name of God”. Atau, ketika ia diangkat menjadi Kepala Desa di daerah terpencil menyatakan “Bismillahir-rahmani-r-rahim..,” maka otomatis ada satu noktah yang menjadi titik mula geraknya dalam memimpin. Yakni, sebutan “Allah”, “God”, “Tuhan” yang menjadi inti dan sumber kekuatan dan kuasa padanya. Dan, pada tampak luarnya adalah rakyat yang memilih, yang memberi kesempatan memimpin padanya saat itu. Tentu saja, sebagaimana lazimnya, setiap kesempatan pasti ada batas waktunya.
Dua hal dalam kesatuan itulah yang menjadi sumber legalitas dan legitimasi di balik aras kursi jabatan. Dengan begitu, posisi penting pemimpin hakikatnya berada di dua titik yang terhubung; yakni “asal” pemberi amanat dan “tujuan” pengabdiannya. Jika seseorang mampu berpegang pada sumber dan tujuan itu maka persoalan cita-cita pencerdasan, kesejahteraan, keadilan sosial dan yang lain, bisa semakin dekat diwujudkan.
Jika seorang pemimpin meyakini bahwa sumber kedudukannya berasal dari Tuhan Yang Mahaadil maka ia pun akan memimpin dengan adil. Jika ia merasa bahwa kursi jabatannya berasal dari rakyat yang telah memercayainya, maka ia pasti berupaya keras mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya.
Aplikasinya memang tidak mudah, karena putaran roda kepemimpinan seringkali tak begitu saja mulus berjalan. Ujian demi ujian pasti akan semakin kuat menggoda dan menghantam. Ketika sebuah kuasa berada dalam genggaman, dan hamparan ladang kekuasaan siap digarap, sebagian orang lalu lupa pada titik asal-muasal dari mana ia mendapatkannya. Dan, kalau sudah lalai titik mulanya apalagi titik akhirnya.
Kesadaran akan sumber atau asal kekuasaan itulah yang menentukan tingkat kewarasan seorang pemimpin. Rasional atau waraskah dia! Sebab, setiap pemimpin atau penguasa selalu sadar akan batas waktu genggaman kekuasaannya. Ke manapun kekuasaan digunakan, apakah untuk kepentingan sesaat atau langgeng, untuk dirinya (egoisme) atau rakyatnya (altruisme), untuk kehinaan atau kemuliaan, semuanya menggunakan “aji mumpung”; yaitu mumpung ada kesempatan. Maka, menggunakan kesempatan sesaat, pun bisa menjadi mata uang untuk “membeli” tujuan. Dan, keping mata uang yang bisa digunakan agar aman dan selamat dalam membeli pilihan yang ditawarkan di pasar kekuasaan ialah kewarasan dan kejujuran.
Beberapa contoh kehidupan menampilkan kisah demikian. Seseorang yang sebelumnya dielu-elu menjadi representasi tulen dari rakyat pada umumnya, bisa jadi berubah di tengah jalan. Hal demikian karena duduk di kursi kekuasaan atau jabatan publik memang syarat godaan dan penyelewengan. “Ketika kekuasaan yang besar sudah ada di tangan akan membuat orang (yang mengampunya) lupa daratan, begitu kata pepatah. Parahnya, ketika seorang pemimpin sudah melupakan kewarasannya, karena merasa banyak memperoleh pendukung, ia tidak tahu lagi mana baik mana buruk, ia seolah lupa akan etika yang dulu pernah menuntun perilakunya.
Seorang pemimpin pemerintahan—yang di pusat atau daerah—misalnya, jika ia waras, tentu akan memilih yang langgeng daripada yang sesaat, memilih kemuliaan ketimbang kehinaan. Jika “waras”, sang pemimpin tentu memilih mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang dirinya, keluarga atau kroninya saja. Karena, kalau hanya diri dan kelompoknya yang sejahtera dan nyaman, belum tentu rakyat sejahtera. Tetapi jika rakyatnya sejahtera, maka si pemimpin pastilah ikut sejahtera. Sementara kejujuran dalam memutar roda pemerintahan, sejatinya kembali kepada orisinalitas jati diri yang terhubung dengan asal-muasal dirinya.
Tetapi, kalau legitimasi dan amanat dari sumber kekuasaan itu sudah diselewengkan, masa bodoh dan pilih-kasih, serta menutup telinga dari suara nurani dan rasa keadilan, tentu jadi mustahil untuk mencapai tujuan sejati sebuah pemerintahan. Sebab, kita akan sepakat menyebut sebuah keberhasilan apabila cerdas, adil, sejahtera dan makmur itu bisa dirasakan bersama-sama oleh pemimpin dan seluruh masyarakatnya. Kita berharap agar para pemimpin kita—di pusat dan daerah—menunaikan kepemimpinannya secara waras. ***