Encep Supriatna *
Usai menyelenggarakan Pemilu Presiden-Wakil Presiden DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II pada Februari lalu, sebentar lagi, hajatan Demokrasi jilid-dua digelar; yakni “Pemilu Kepala Daerah” (Pilkada). Jika sebelumnya Pilkada boleh dikata dilakukan secara sporadis, mengikuti akhir masa jabatan lima-tahunan para pemimpin daerah itu, maka sebentar lagi, November 2024 itu, dilaksanakan serentak.
Geliat pilkada di berbagai daerah termasuk Banten sudah mulai terlihat, bahkan ada salah satu kandidat Gubernur dari partai yang cukup besar sudah memasang baliho di seluruh pelosok Banten jauh sebelum pilpres berlangsung. Kini, beberapa baliho dan spanduk calon Gubernur, Bupati dan Walikota seluruh Indonesia sudah tampak di jalan-jalan. Secara sosiologis, untuk Banten, calon kepala daerah—Gubernur, Bupati dan Walikota—yang terpilih, sangat dipengaruhi oleh ketokohan atau figur yang popular di daerahnya.
Dalam amatan penulis, umumnya masyarakat menginginkan agar “politik-kekerabatan” di tingkat Nasional tidak merembet ke daerah, karena dari rumor yang beredar, keluarga Presiden Jokowi banyak yang sudah digadang-gadang maju Pilkada. Sebut saja Kaesang, yang konon akan maju di calon Walikota Solo; Eri Gudono, istri Kaesang, akan maju sebagai calon Walikota Sleman, Yogyakarta, dan Boby Nasution, mantu Jokowi, maju sebagai Cagub Sumatera Utara. Bahkan, menurut berita di Koran daerah, bekas ajudan Jokowi pun akan maju di Cabup Boyolali, dan sekretaris pribadi Ibu Iriana Jokowi untuk calon Walikota Bogor.
Kalau isu ini benar, maka bisa menjadi “contoh buruk” bagi demokrasi kita. Sebab, “cawe-cawe” penguasa sedikit banyak mempengaruhi elektabilitas calon. Di negara yang masih kental dengan budaya paternalistik, budaya “ewuh pakewuh”, di mana bawahan selalu nurut pada atasan, maka pilihan cerdas dan berdasar hati-nurani akan dikalahkan. Terlebih apabila ada intervensi dari aparat penegak hukum yang memiliki garis komando sampai tingkat kelurahan atau desa. Kondisi seperti ini seperti memutar balik sejarah ke era rezim Orde Baru; yang menggerakkan tiga kekuatan—yaitu militer (ABRI), Birokrasi dan Golkar.
Sejatinya, Pilkada bukan tujuan utama. Ia hanyalah sarana untuk mengembangkan pembangunan dan kemajuan di daerah. Namun realitas sosial di beberapa daerah, Pilkada dijadikan ajang untuk mempertahankan kepemimpinan ala “dinasti”. Yang jelas, masih banyak pekerjaan rumah kita, termasuk di dalamnya pembangunan sumber daya manusia.
Untuk Banten, yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah, haruslah dikomandoi oleh seorang kepala daerah yang memiliki integritas, kapabilitas dan kompetensi bagus. Ia menjadi pemimpin daerah bukan karena anak pejabat tertentu, atau keturunan tertentu, tetapi karena memang memiliki visi besar, yang bisa mengubah daerah minus jadi surplus, desa tertinggal jadi desa mandiri.
Harapan ini cukup besar, mengingat biasanya sosok atau figur yang muncul adalah yang sudah berpengalaman di birokrasi, di lembaga legislatif, atau sebagai aktivis, pengusaha, politikus, agamawan. Artinya, latar belakang itu hendaklah jadi preseden baik.
Kita berharap, proses Pilkada serentak ini bisa menghasilkan pemimpin daerah yang membawa kesejahteraan bagi rakyat, karena sejatinya demokrasi hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan yang merata, bukan untuk sekadar membuat dinasti baru, atau memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Harus ada arus perubahan bagi pembangunan yang berkesinambungan, yang menuntaskan masalah sosial elementer; seperti kemiskinan, kebodohan dan kesehatan. Untuk mendapatkan pemimpin yang kapabel dan jauh dari indikasi kecurangan maka diperlukan minimal tiga hal, regulasi pilkada yang fair dan adil, penyelengaraan yang tidak berpihak, dan pemilih yang cerdas; yang menolak politik-uang. *(Pembina Salakanagara Institute)
