
Oleh: Firdaus Badarudin
Berdasarkan Rule of Law Index tahun 2023 yang diterbitkan oleh World Justice Project, organisasi independen yang bertujuan mempromosikan dan meningkatkan penegakan hukum di seluruh dunia yang mencakup 128 negara dan wilayah hukum, Indonesia mendapat skor 0,51 dari nilai tertinggi 1. Aspek yang dinilai dalam indeks ini mencakup pembatasan kekuasaan (0,66); absennya korupsi (0,40); keterbukaan Pemerintah (0,55); Hak Dasar (0,50); ketertiban dan keamanan (0,71); penegakan Peraturan (0,57); peradilan perdata (0,47) dan peradilan pidana (0,40). Skor 0,51 ini merupakan rapor merah bagi suatu negara yang menyatakan dirinya sebagai “negara hukum” sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan besar dan fundamental dalam meningkatkan penegakan hukum yang berkualitas, benar dan berkeadilan, khusunya melalui lembaga hukumnya yang harus independen, kuat, berwibawa dan benar-benar berfungsi, khususnya dalam kasus korupsi, demokrasi, politisasi hukum dan lemahnya independensi lembaga yudikatif serta kemungkinan hukum dan lembaga penegak hukum yang dimandulkan dan menjadi tidak imparsial.
Bila kita menyaksikan suatu kasus hukum yang dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat hukum dan penilaian oleh hakim dalam sidang peradilan serta keputusan hukum yang dihasilkan ternyata tidak menghasilkan putusan yang benar, adil dan memperkuat fondasi penegakan hukum maka kita tengah menyaksikan sebuah proses perusakan hukum yang patut segera dihentikan. Sebaliknya, ketika kita menyaksikan segenap aparat hukum bekerja dengan benar, didukung oleh nurani yang bersih dan terus berusaha menegakkan hukum yang berkeadilan serta hakim yang memutuskan dengan benar dan adil maka kita tengah menyaksikan sebuah proses penguatan hukum dan lembaga hukum, khususnya untuk menjadi kuat, berwibawa dan benar-benar berfungsi bagi kepentingan dan kemajuan bangsa dan negara.
Paling tidak ada dua hal pokok yang patut kita sorot dalam proses penegakan hukum. Pertama, ketentuan hukum yang tersedia sebagai produk yang diciptakan oleh Allah bagi manusia dan/atau produk hukum hasil ciptaan manusia yang dijadikan pedoman dalam berhukum. Kedua, siapa yang menjalankan fungsi dan wewenang penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum tersebut. Setiap ketentuan hukum selalu membuka ruang bagi penggunaan judgement oleh penegak hukum dan pembuat keputusan hukum ketika suatu kasus hukum belum sepenuhnya dapat terselesaikan dari ketentuan hukum yang tersedia dan karenanya membutuhkan kehadiran penegak hukum serta pembuat keputusan hukum yang benar-benar berpihak kepada kebenaran dan keadilan, bukan berpihak kepada penyimpangan hukum.
Demikian pentingnya kualitas manusia penegak hukum dan pembuat keputusan hukum sehingga Rasulullah Muhammad Saw. bersabda, “Hakim itu ada tiga, satu orang di surga dan dua orang berada di neraka. Yang berada di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya; seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu berlaku zalim dalam berhukum maka ia berada di neraka; dan orang yang memberikan keputusan untuk manusia di atas kebodohan maka ia berada di neraka.” (HR Abu Daud).
Kekuatan di Luar Hukum
Tak jarang kita menyaksikan para penegak hukum dan para pembuat keputusan hukum yang tidak mampu untuk benar-benar bertindak independen agar mampu menjadi orang yang adil dan benar dalam menegakkan hukum. Apakah karena kelemahan dirinya sendiri atau karena adanya kekuatan di luar dirinya yang mengendalikan dan membuatnya “harus” menghasilkan keputusan hukum yang menyesatkan dan menzalimi orang lain atau masyarakat atau bahkan bangsa. Kita sebut orang yang menjadi pengendali di luar kekuasaan penegak hukum tersebut sebagai the man behid the law yang jahat, yang selalu menciptakan penyimpangan hukum dan menghasilkan hukum yang menyimpang melalui institusi hukum atau pembuat keputusan hukum.
Ketika kita mendapatkan adanya the man behind the law yang jahat maka cepat atau lambat pondasi hukum dan lembaga hukum akan rusak, bahkan akan merusak sampai ke berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa dalam berdemokrasi, berhukum, berkegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Makin berbahaya lagi, bila “the man behind the law” tersebut adalah orang yang memiliki pengaruh besar dan kuat, tidak saja karena kekuatan dirinya tetapi terlebih karena didukung oleh sistem yang rusak dan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan yang berada dalam lingkarannya dan menjadi bagian dari kerusakan sistem tersebut.
Untuk mencegah proses perusakan hukum, lembaga penegak hukum dan produk-produk hukum yang dihasilkan membuat fondasi “negara hukum” menjadi rapuh maka diperlukan langkah fundamental dan segera, khususnya dengan menyingkirkan setiap the man behind the law yang jahat dan merusak berikut lingkungannya. Selain itu, terhadap semua produk hukum yang dihasilkan dari penyimpangan hukum dan menghasilkan produk hukum yang menyimpang dan merusak patut dilakukan koreksi dengan menggantikannya dengan produk hukum yang benar-benar didukung oleh nilai-nilai kebenaran, keadilan dan dihasilkan oleh nurani manusia yang cinta kebaikan dan kebajikan, khususnya untuk kepentingan dan kemajuan bangsa dan negaranya. Selain itu setiap penegak hukum dan pembuat keputusan hukum, baik orang per orang maupun secara kelembagaan yang mendapat wewenang untuk itu kita berharap semoga Allah membersihkan hati dan pikiran mereka dari niat-niat dan perbuatan jahat, kotor dan merusak serta menjadikan mereka menjadi para penegak hukum dan pembuat produk hukum yang benar dan berkeadilan serta mampu memperkuat fondasi “negara hukum” sebagaimana dicita-citakan para pendiri Republik ini. Semoga …..


